Fokus! Itulah resep Ahmad Redi (28) dalam menyelesaikan disertasi
program doktoral bidang hukum di Universitas Indonesia (UI). Dia
tercatat sebagai mahasiswa tercepat dalam menyelesaikan disertasi
tercepat plus dengan nilai terbaik (cumlaude) dalam sejarah Fakultas
Hukum UI.
Pria berkacamata yang akrab disapa Redi ini mampu
menyelesaikan disertasinya selama tiga tahun. Dia juga berhasil meraih
nilai IPK tertinggi yakni 3,80. UI mencatat prestasi itu sebagai rekor.
"Tiap
hari saya selalu menyisihkan minimal 2 jam sehari untuk menulis
disertasi," ungkap Redi saat berbincang dengan detikcom di Jakarta,
Kamis (6/6/2013).
Redi sehari-hari bertugas sebagai Kepala Sub
Bidang Sumber Daya Alam, Deputi Bidang Perundang-undangan di Kementerian
Sekretariat Negara. Di tengah kesibukannya bekerja, Redi tak patah
semangat dalam menyelesaikan disertasinya.
"Saya ngerjain
disertasi setelah jam kerja sampai dengan larut malam," imbuh pria
kelahiran Seribandung, Ogan Komering Ilir, Sumsel, 27 Februari 1985 ini.
Redi
memang berniat untuk segera menyelesaikan disertasinya dengan waktu
singkat. Disertasinya dia beri judul 'Divestasi Saham di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara Dalam Rangka Pelaksanaan Penanaman
Modal Asing di Indonesia'.
"Bahkan saya pernah 3 hari 3 malam
kagak
tidur karena menulis disertasi," kenang suami Nila Anesia yang pernah
menjadi mahasiswa berprestasi II FH Universitas Diponegoro 2005 ini.
Meski
sibuk dengan kerjaan dan disertasinya, Redi selalu meluangkan waktu
untuk anak dan istrinya setiap akhir pekan. Namun ayah dari Jeisia
Niyosha Jurist Resia pun sesekali mengajak keluarga untuk 'berlibur' di
perpusatakaan.
"Kalau keluarga tiap hari Minggu full seharian.
Walau sering juga hari Sabtu dan Minggu anak istri saya ajak ke
perpustakaan UI di Depok," tutur dia.
Redi menyelesaikan Program
Sarjana di Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro, Semarang
(2003-2007). Dia lalu melanjutkan pendidikannya di Program Magister FH
Universitas Indonesia (2007-2009) dan terakhir di program Doktor Ilmu
Hukum, FH Universitas Indonesia (2010-2013). Redi menempuh doktoralnya
dengan waktu lebih cepat setahun dari rata-rata kebanyakan orang.
"Saya masih bercita-cita menjadi profesor muda bidang hukum," kata Redi berambisi.
Namun
di balik kesuksesan pendidikannya di perguruan tinggi, Redi justru
merasa titik awal kesuksesannya itu bermula saat dirinya mengenyam
pendidikan di SMU Bina Insani, Bogor. Bahkan Redi menyebut SMU Bina
Insani ibarat Kawah Chandradimuka bagi dirinya.
"Sekolah itu
telah menempa saya hingga menjadi seperti ini. SMA BI telah menorehkan
tinta emas dalam hidup dan kehidupan saya. Saya memulai merangkai mimpi
dan cita-cita masa depan saya secara sistematis ketika saya sekolah di
sana," ungkap Redi yang juga lulusan terbaik di SMU BI ini.
Redi
masih memiliki mimpi. Dia ingin membentuk sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) di bidang hukum. Tujuannya tidak lain selain memberi
pemahaman hukum kepada masyarakat.
"Membumikan hukum di masyarakat bawah sehingga timbul kesadaran hukum," kata Redi yang hobi bermusik ini.
Pria
yang masih kental logat Palembangnya ini mencontohkan salah satunya
adalah mensosialisasikan UU Perkawinan atau UU KDRT. Ketika masyarakat
paham, maka tindakan untuk melawan hukum akan berkurang.
"Kita
punya UU KDRT, banyak masyarakat di daerah belum mengerti, agar mereka
sadar. Selain itu soal perkawinan, daftarkan agar tidak kawin siri.
Gunakan bahasa yang mudah, masuk ke mereka, agar bisa mudah dimengerti,"
tutupnya.